Beranda | Artikel
Empat Kaidah Dasar [bagian 6]
Kamis, 17 Januari 2013

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:

Syafa’at itu ada dua macam; syafa’at yang ditolak dan syafa’at yang ditetapkan.

Syafa’at yang ditolak adalah syafa’at yang diminta kepada selain Allah, dalam hal-hal yang tidak dikuasai kecuali oleh Allah.

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari apa yang telah kami berikan rizki kepada kalian, sebelum datangnya suatu hari yang pada saat itu tidak berguna jual-beli, kecintaan, maupun syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 254)

Syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta kepada Allah dan yang memberi syafa’at adalah orang yang dimuliakan dengan adanya syafa’at itu. Adapun orang yang diberi syafa’at adalah orang yang diridhai Allah ucapan dan perbuatannya, setelah mendapatkan izin dari Allah.

Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Siapakah yang bisa memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin dari-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)

[lihat Mu’allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 200-201]

Penjelasan Global

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menerangkan tentang syafa’at. Ada syafa’at yang ditolak dan ada syafa’at yang ditetapkan. Hal ini didasarkan pada keterangan yang ada di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Syafa’at yang ditolak adalah yang diminta kepada selain Allah dalam perkara yang hanya dikuasai oleh Allah. Adapun syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta kepada Allah dan yang bisa memberikan syafa’at di sisi Allah adalah orang yang diberikan izin oleh Allah. Di sisi lain, syafa’at hanya akan diberikan kepada orang yang beriman, bukan orang musyrik.

Syafa’at Yang Ditetapkan dan Syafa’at Yang Ditolak

Syafa’at yang ditetapkan akan diberikan setelah terpenuhi 2 syarat: [1] Ijin Allah bagi orang yang memberikan syafa’at, dan [2] keridhaan Allah terhadap orang yang akan diberi syafa’at, sedangkan Allah tidak ridha kecuali kepada orang yang bertauhid (lihat Fath al-Majid, hal. 196).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu tidak berguna syafa’at kecuali bagi orang yang diberi ijin oleh ar-Rahman dan ucapannya diridhai oleh-Nya.” (QS. Thaha: 109).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Betapa banyak malaikat di langit tidaklah berguna syafa’at mereka sedikit pun kecuali setelah mendapatkan ijin dari Allah, yaitu untuk diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia ridhai.” (QS. An-Najm: 26)

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan mereka tidak akan memberikan syafa’at kecuali bagi orang-orang yang diridhai-Nya.” (QS. al-Anbiya’: 28).

Syafa’at hanya diberikan kepada orang yang bertauhid. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah doa yang mustajab, maka semua Nabi bersegera mengajukan doa/permintaannya itu. Adapun aku menunda doaku itu sebagai syafa’at bagi umatku kelak di hari kiamat. Doa -syafa’at- itu -dengan kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang yang meninggal di antara umatku dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat Ahmad disebutkan, Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, “Aku adalah orang yang paling mengetahui tentang syafa’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat.” Orang-orang pun berpaling kepada beliau. Mereka berkata, “Beritahukanlah kepada kami, semoga Allah merahmatimu.” Abu Hurairah berkata: Yaitu beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah setiap muslim yang beriman kepada-Mu dan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu apapun.” (HR. Ahmad, sanadnya dinilai hasan, lihat al-Ba’ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 49)

Hadits di atas menunjukkan bahwa hakikat syafa’at adalah doa. Salah satunya adalah doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah supaya mengampuni dosa-dosa setiap orang yang bertauhid. Dan syafa’at itu hanya akan diterima oleh orang yang bertauhid.

Adapun syafa’at yang ditolak di dalam al-Qur’an adalah syafa’at bagi orang kafir atau musyrik. Seperti halnya yang dimaksud dalam firman Allah (yang artinya), “Sebelum datangnya suatu hari yang tidak berguna padanya jual-beli, kecintaan, maupun syafa’at.” (QS. Al-Baqarah: 254). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah bermanfaat bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.” (QS. Al-Muddatstsir: 48) dan ayat-ayat lain yang serupa (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 98)

Syafa’at Bagi Pelaku Dosa Besar

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Terdapat riwayat-riwayat yang secara keseluruhan mencapai derajat mutawatir yang menetapkan kebenaran syafa’at di akhirat bagi para pelaku dosa diantara kaum beriman. Telah sepakat salaf dan kholaf serta para ulama sesudahnya dari kalangan Ahlus Sunnah atas hal itu. Akan tetapi Khawarij dan sebagian Mu’tazilah tidak mempercayai hal itu. Mereka berpegang dengan madzhab mereka bahwa para pelaku dosa [besar] kekal di dalam neraka.” (lihat Syarh Muslim [2/311])

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diberikan pilihan -oleh Allah- antara syafa’at atau setengah umatku dimasukkan ke dalam surga. Maka aku pun memilih syafa’at, karena ia lebih luas [manfaatnya] dan lebih mencukupi. Apakah menurut kalian ia diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan sempurna imannya? Tidak, akan tetapi ia diberikan kepada orang-orang yang berdosa, pemilik kesalahan-kesalahan, orang yang bergelimang dengan dosa.” (HR. Ibnu Majah, dinilai sahih sanadnya oleh al-Bushiri, lihat al-Ba’ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 46)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Suatu kaum yang masuk ke dalam neraka Jahannam kemudian mereka dikeluarkan darinya, maka mereka pun masuk ke dalam surga. Mereka dikenal di surga dengan sebutan khusus untuk mereka. Mereka disebut dengan al-Jahanamiyun.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dinilai sahih oleh al-Albani, lihat al-Ba’ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 51-52)

Kekeliruan Kaum Musyrikin Dalam Hal Syafa’at

Syafa’at adalah milik Allah, bukan milik para malaikat, nabi atau wali. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Milik Allah semua syafa’at itu.” (QS. Az-Zumar: 44). Oleh sebab itu tidak boleh meminta syafa’at kecuali kepada Allah. Tidak ada yang bisa memberikan syafa’at kecuali dengan izin Allah, karena syafa’at adalah milik-Nya. Bahkan, berdoa kepada para wali (baca: sesembahan selain Allah) demi mendapatkan syafa’at dan mendekatkan diri kepada Allah itulah sebab mengapa Allah mengkafirkan orang-orang musyrik zaman dahulu (lihat penjelasan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, hal. 79-80)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian berdoa kepada sesuatu apa pun selain Allah bersama-Nya.” (QS. Al-Jin: 19). Dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa adalah [intisari] ibadah.” Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60) (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da’awat [3372] dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani)

Bantahan Bagi Para Pemuja Kubur

Salah satu bentuk kesyirikan adalah meminta (baca: berdoa) bebagai kebutuhan kepada orang yang sudah mati dan beristighotsah kepadanya. Ini adalah sumber bertebarnya syirik di dunia. Padahal, orang yang sudah mati sudah terputus amalnya dan tidak menguasai bagi dirinya sendiri kemanfaatan maupun bahaya apalagi untuk orang yang beristighotsah atau meminta syafa’at kepadanya (lihat ad-Durr an-Nadhidh ‘ala Abwab at-Tauhid, hal. 121)

Orang-orang musyrik masa silam berdoa kepada para malaikat agar memberikan syafa’at bagi mereka di sisi Allah. Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah rahimahullah mengatakan, “Apabila mengangkat para malaikat sebagai pemberi syafa’at tandingan selain Allah adalah kesyirikan, maka bagaimanakah lagi dengan perbuatan orang yang menjadikan orang-orang yang sudah mati -sebagai pemberi syafa’at- sebagaimana yang dilakukan oleh para pemuja kubur?!” (lihat Taisir al-‘Aziz al-Hamid [1/517])

Ini menunjukkan, alasan bahwa para malaikat, nabi atau wali bisa memberikan syafa’at di sisi Allah tidaklah bisa dijadikan sebagai hujjah/dalil untuk membolehkan berdoa [meminta syafa’at] kepada mereka karena dua sebab:

  1. Syafa’at bukan milik mereka, tetapi milik Allah semata (baca: az-Zumar 44). Sehingga memintanya kepada selain Allah adalah jelas sebuah kekeliruan
  2. Berdoa kepada selain Allah adalah syirik, karena doa adalah ibadah dan memalingkan ibadah kepada selain Allah adalah kemusyrikan (baca: al-Jin 19). Sehingga dengan berdoa kepada selain Allah -untuk meminta syafa’at- justru membuat mereka terhalang dari syafa’at. Sebab syafa’at tidak akan diberikan kepada orang musyrik.


Artikel asli: http://abumushlih.com/empat-kaidah-dasar-bagian-6.html/